Mendung!!! Sang Mentari tampaknya enggan tersenyum lagi di hari ini.
Tampaknya ia turut berkabung dengan apa yang mengusikku beberapa hari
lalu.
“Please.. jangan hujan lagi,” kataku memohon dalam hati.
Pikiranku melayang kembali mengingat serangkaian kenangan yang hilang
itu. Sebuah sayatan tanpa aliran darah menggores satu bagian intim di
ragaku. Suara yang biasanya menjadi pengobat kerinduanku, menenangkan
kegelisahanku, hari itu berubah menjadi sebuah panggilan terlarang yang
harusnya aku reject kala itu.
“Hah, siaalll!!!” teriakku menghapus semua kilasan masa lalu itu.
Janji itu kosong, rasa itu bohong, bulsyiiittt!!!
—
Tanpa terasa beranjaklah angka di hidupku, tampaknya sudah tak pantas
aku bermanja-manja, mulai harus menata diri melangkah ke jenjang yang
sering mereka sebut dewasa.
Kringg… kring… kring…
“Halo, Assalamu’alaikum”, kataku manis pada sosok di ujung telepon.
Suaranya memang sudah kutunggu dari lonceng pergantian malam tadi.
Syahdu sekali seperti Sang bayu yang mengayun sepoi-sepoi membelai
mahkotaku di tepi pantai.
“Selamat ulang tahun ya, semoga apa yang kau impikan dapat tercapai Say.”
“Iya, terimakasih Say,” Jawabku bersemangat.
“Aku boleh bilang sesuatu?”
“Boleh, apa?” kataku dengan cepat, tak sabar apa gerangan kata-kata yang ia utarakan.
“Maaf ya karena aku menggantungkanmu kemarin-kemarin, semoga kamu bisa
belajar dari kesalahan, maukah kita menjalin kembali hubungan kita?”
Hatiku mendengar semua perkataanmu sangat bahagia, “Artinya kita pacaran
lagi?” meskipun ada hal-hal yang menyakitkanku dengan manisnya
permintaanmu, seakan-akan akulah troublemaker dalam hubungan kita. Tapi
sayangnya aku tak sanggup marah dan membencimu, karena raga dan batinku
sudah terpatri kuat pada satu nama yaitu “Fikar” (namamu).
Satu bulan kita jalani hubungan itu kembali, terasa sangat
menyenangkan, meski ragamu tak pernah aku temui, tapi jarak itu seakan
tak berarti. Aku selalu merasakan kau ada di sampingku di setiap waktu.
Lima bulan berjalan, kau mulai mencoba lebih serius untuk mengenalku,
bukan hanya diriku tetapi melangkah ke sosok-sosok penyemangatku. Aku
semakin yakin padamu bahwa aku tak salah memilihmu, menantimu,
mengharapmu untuk bersanding sebagai imamku kelak.
Kerikil-kerikil kecil pernah kita alami tapi rasanya tak sanggup aku
mengganjalnya terlalu lama. Selalu kita coba untuk membuangnya dan
mengobati dampak luka yang terjadi karenanya. Hah, indah sekali rasanya
hingga tak kusadari batu besar itu datang.
Bulan Januari, 2 bulan sebelum perayaan 1 tahun usia hubungan kita.
Ada gelombang besar yang mengusik hidupmu, aliran takdir tak semulus apa
yang engkau bayangkan. Segala upaya untuk masa depan yang engkau
rencanakan kelak bersamaku harus rela kau lepas dan mengulangnya dari
nol. Aku mencoba menguatkanmu bahwa ini bukan akhir, tapi tampaknya kau
terlalu terpukul.
Satu bulan terlewati, mendekati titik-titik penting dari perjalanan
kami, kau tampak lebih baik. Semangatmu sudah terpompa lagi, hubungan
kita juga semakin erat, rasanya luapan rindu selalu tertampung setiap
harinya.
Pengobatan kerinduan kita hanyalah si besi penyampai kabar ini. Seperti
hari biasanya, kau selalu menyapaku dengan tulisan singkat di benda itu
pada pagi hari. Tapi, hari itu, satu hari sebelum pergantian angka di
hidupmu dan bersamaan dengan 6 hari sebelum hari bersejarah kita,
pesanmu beda.
Bro, tau ga, tadi malam aku mimpiin Reta lagi, aseemmm. (By: Fikar)
Bagai petir menggelegar saat kubaca pesan yang tampaknya bukan
ditujukan untukku. Terlebih Reta itu bukan namaku, kutahu nama itu
memang pernah singgah di hatinya tapi itu dahulu. Api amarahku
menyeruak, kubalas sms itu dan ku ajukan berbagai pertanyaan yang
menyelumut di pikiranku. Fix hari itu kami bertengkar.
Sudah pukul 22.00 tanpa ada kabar darinya, aku semakin merindunya.
Harusnya aku jangan terlalu keras padanya, bukankah dia sudah minta
maaf, mengapa tidak aku berbaikan saja? Well, akhirnya kuputuskan nanti
jam 00.00 ketika pergantian di usianya aku akan mengucapkan selamat dan
meminta maaf atas segala tindak kekanakanku.
“Oh my God, sekarang jam 02.00,” kataku kaget karena alarmku tak memihakku.
Segera kupencet nomornya dan kuharap dia belum terlelap tidur. Alhamdulilah, suara di sana ramai.
“Lagi apa?”
“Nonton TV.”
“Say, Selamat ulang tahun ya,” Kataku penuh cinta.
“Iya makasih, aku boleh bicara sesuatu sama kamu?”
“Boleh, ada apa?”
“Kita break dulu aja ya, aku mau menenangkan diri dulu.”
Hatiku tercabik-cabik, pernyataan itu, begitu membuat aku tak sanggup
berkata-kata. Tanpa terasa ada aliran deras mengalir membasahi wajahku.
Suaranya di ujung sana sudah tak sanggup aku dengarkan lagi, yang ada
ragaku menjadi lunglai tak berdaya. Aku mencintainya tapi kenapa ia
bilang seperti itu? Salah besar apa yang aku lakukan?
6 hari sebelum hari jadianku, tepat di hari ulang tahunnya hubungan ini
di ujung tanduk. Aku hanyalah wanita biasa, yang mempunyai rasa mencinta
yang terlampau dalam untuknya, berharap memperbaikinya tampaknya malah
semakin parah.
“Perasaanmu gimana sih sekarang?” tanyaku mendesaknya.
“Abu-abu, ya sudahlah semoga kau dapat jodoh yang baik di sana.”
Kata-kata itu menyakitkanku, apa dia ingin mempermainkanku karena
sebentar lagi aku akan ulang tahun? O yah, pasti seperti itu, Ok. Aku
harus sabar menunggunya.
Tepat jam 00.00 pergantian usiaku, kutunggu-tunggu sms atau
teleponnya tapi ternyata kosong. Pagi berganti Siang, Siang berganti
Malam tapi kabar darinya tak ada. Aku sakit hati tapi hanya tangis yang
bisa mengobatiku. Hingga sebuah pesan baru mengusik kepiluanku
Selamat ulang tahun. semoga kamu bahagia, God bless you (By: Fikar).
Just it? Oh no… apa dia serius ingin menyudahinya? Tapi kenapa Tuhan, Aku tak mengerti!!
Waktu bergulir hingga satu bulan terlewat, aku selalu mencoba
mengejarnya untuk menyelesaikan apa yang mengganjal di kalbuku, sayang
tanyaku tak pernah berujung dengan sebuah jawaban.
Tiga bulan berjalan, tapi kau tak pernah bersua semanis dahulu,
kata-katamu ketus, sakit aku membaca tulisanmu, hingga kuberanikan diri
menanyakan mengapa kau lakukan ini padaku.
Maaf, aku tak tahu dari mana aku harus bercerita, awalnya aku memang
mencintaimu tetapi beberapa bulan lalu perasaan itu menjadi hambar. (By:
Fikar)
Tuhan, aku tak sanggup menangis lagi, air mataku sudah habis. Badanku
lemas Tuhan, kehilangannya membuat semangatku memudar. Bayangan
sekitarku memudar, aku hanya bisa meraba-raba dinding menemui Ibu,
Sayangnya ragaku tak kuasa menyokongku dan akhirnya aku tersungkur.
Sebelum mataku terkatup aku sempat memohon pada Tuhan,
“Tuhan, tolong hapuskan ingatanku dan kenanganku yang berhubungan
dengannya. Jangan siksa aku dengan rasa yang tak berujung ini”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar