Aku tak peduli apa yang sedang berlangsung. Aku tak peduli dengan
ibu-ibu cerewet di depan kelas yang sedang menjelaskan materi. Aku tak
peduli akan catatan-catatan yang ia tuliskan di papan. Aku tak peduli
dengan semuanya. Yang aku pedulikan hanyalah diriku sendiri, pikiranku,
hatiku. Kenapa denganku ini? Dengan pikiranku? Dengan hatiku? Kenapa
diam-diam aku masih memperhatikanmu? Kenapa aku masih memikirkanmu?
Kenapa hatiku masih mencintaimu? Beribu kata ‘kenapa’ selalu
beputar-putar di diriku, tetapi aku pun tidak bisa menjawabnya.
Ku hadapkan kepalaku ke arah keluar kelas. Ramai sekali di luar sana,
seramai pikiranku yang memikirkanmu. Entah mengapa semua ini tiada
habisnya. Aku masih sering memikirkanmu dan menangisimu, bertanya-tanya
kenapa kamu membuatku seperti ini. Mataku sudah kering untuk menangis
lagi. Hatiku seakan hancur dipenuhi sesak yang tiada habisnya bila
mengingatmu, mengingat kita. Dulu semuanya terasa indah, sangat indah.
Tapi bagaimana dengan sekarang? Apakah air mataku dan hatiku yang sakit
ini termasuk indah? Tidak kan?
Aku mulai memejamkan mataku. Mengingat-ingat semuanya. Kata-katamu di
hari itu, genggaman erat tanganmu, air mataku… Perlahan semuanya
langsung hinggap di dalam memoriku, membuat rasa sesak di hati ini
terasa lagi. Kenapa sesak ini tak kunjung sembuh? Apakah di dalam sana
hatiku masih rapuh? Kenapa sesakit ini rasanya rapuh karenamu? Kapan aku
bisa melupakanmu? Melupakan kenangan kita? Kejadian di hari itu sudah
membuatku kehilangan separuh hidupku. Saat kamu genggam erat tanganku
dan mengucapkan kata-kata itu. Ya, semua penderitaanku berawal dari
sana. Saat….
Kamu genggam erat tanganku. Mata kita bertemu. Mataku yang penuh
kebahagiaan bertemu dengan matamu yang penuh kebingungan, rahasia dan
sedikit penyesalan. Aku mulai bertanya-tanya.
“Sonya…” Kamu menunduk.
“Kamu kenapa?” Tanyaku lembut.
“Son… kita sampai disini aja, ya.”
Aku terkejut. Tiba-tiba saja semuanya terasa berat, terasa hancur.
Sangat terasa dari dalam hatiku kalau ini menyakitkan. Badanku terasa
lemas. Aku masih tidak percaya tentang apa yang kamu katakan. Pasti ini
mimpi, batinku. Ya, ini mimpi. Aku hanya perlu bangun dan semuanya
normal.
“Kamu bercanda kan? Jangan bercanda seperti itu.” Aku mencoba menenangkan diri.
“Lihat aku, apa aku bercanda?” katamu dengan serius.
Tak kutemukan nada bicara bercanda dalam kata-katamu. Entah mengapa
hatiku terasa sakit, terasa perih. Dan sialnya, ini memang bukan mimpi,
tetapi kenyataan. Kenyataan yang pahit.
“Ke… kenapa?” Aku menahan air mataku ‘tuk jatuh.
“Aku sebenarnya masih menyayangi dia, tetapi entah mengapa aku juga
memiliki rasa untukmu. Kau tahu, kan, siapa dia? Orang yang dulu…
sebelum kamu…”
Tak usah diperjelas, aku tak mau tahu tentang dia, dia yang membuatmu
berucap seperti itu, mengakhiri apa yang telah kita pertahankan.
“Aku… aku ingin kembali kepadanya. Maaf…”
DEG. Semuanya terasa kosong.
Aku hancur. Hatiku terasa semakin sakit, sesak sudah mengepul di
diriku. Mataku mulai basah. Jadi selama ini kamu menyayangi aku dan dia?
Kenapa kamu tidak bilang dari awal? Kenapa kamu berbohong? Bukannya
dulu kamu bilang kamu akan menjaga perasaanku dan tak akan menyakitiku?
Apa kamu tidak tahu bahwa yang kamu lakukan telah membuat hatiku sakit?
Apa kamu tidak tahu?
“Maafkan aku berbohong padamu. Maafkan aku bila cintaku ini masih ku bagi-bagi. Maafkan aku, Son…”
Aku masih menatapmu, menatap mata indah yang dulu jadi duniaku. Apa
‘kamu dan aku’ sudah berakhir? Ah, entah. Ingin sekali aku melepas
genggaman ini, menampar wajahmu dan mencaci makimu. Ingin sekali aku
menghajarmu sampai habis, ataupun memelukmu dan tak akan melepasnya.
Tapi, siapa aku ini? Aku hanya orang lemah yang sempat dibuat kuat dan
sekarang rapuh karena orang yang sangat kusayang. Lemah, hancur, rapuh,
perih.
“Kenapa… Kenapa kamu tega?” kataku lirih.
“Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku tidak mau menyakitimu di
kemudian hari bila kamu terlalu lama bersamaku. Aku tak mau kamu
menyayangi aku, menyayangi orang yang salah.”
Ya. Kamu sudah jujur. Kamu berbohong. Kamu orang yang salah. Kamu memang salah.
“… Aku mengerti. Cukup sampai disini, berbahagialah dengannya.” Kataku berbohong, berusaha menutupi kepedihanku.
Ah! Kenapa aku merelakanmu? Kenapa aku pua-pura rela?
“Maaf, Son,” kamu tersenyum, “tapi kita tetap akan berteman, ya!” Kamu
berkata dengan entengnya. Kamu lepaskan genggaman hangat tanganmu,
membiarkan tanganku ini dingin lagi. Lalu kamu segera berlalu. Dan
setelah itu aku tak mau tahu lagi.
Entah kenapa sampai sekarang peristiwa hari itu masih teringat
olehku. Aku berusaha melupakannya, tetapi sosokmu selalu datang dan
membuat semuanya gagal. Senyummu, wajahmu, perhatianmu, kata-kata
manismu dan kenanganmu… Semuanya sangat manis.
Aku masih ingat jelas saat pertama aku mengenalmu kamu adalah orang
yang aneh, humoris, dan bisa membuatku tertawa. Aku ingat saat kamu
menyatakan cintamu disaat acara api unggun malam itu. Saat kamu
memelukku, mencium pipiku, menggenggam tanganku… Bahagia sekali aku
dapat memilikimu. Tapi apa gunanya aku bahagia sekarang? Kamu telah
menghancurkan semuanya, semua yang kamu dan aku lakukan.
Kamu yang memulai, dan kamu juga yang mengakhiri semua ini.
Apakah benar kamu memutuskan hubungan kita di hari itu? Apakah benar
kamu bukan milikmu lagi? Apakah benar kamu dan dia sudah bersama, sudah
bahagia? Apakah benar? Oh, cepat bangunkan aku, ini semua hanyalah
mimpi. Bangunkan aku!
Ya, ini semua memang mimpi. Kamu masih milikku dan aku masih milikmu. Ya, dalam mimpi…
Aku terus memandang keluar kelas, menyibukkan diri dengan pikiranku.
Tiba-tiba saja sosokmu lewat, berhenti di depan kelasku. Kamu melihat ke
arahku, tersenyum padaku. Kuperhatikan senyum manismu yang dulu sering
kamu berikan kepadaku. Senyuman yang dulu jadi penyemangat langkahku.
Tapi sekarang, entah. Yang ada senyum manismu itu membuat hatiku semakin
sakit.
Aku menelan ludah pahit. Perlahan ku ukirkan secuil senyuman di
wajahku dengan terpaksa. Senyuman yang menyembunyikan kesedihanku,
senyuman palsu. Hatiku semakin terasa rapuh. Kamu pun segera berlalu.
Sial. Sampai kapan hatiku rapuh? Sampai kapan senyuman palsu ini
menutupi kepedihanku? Sampai kapan aku memikirkanmu? Aku lelah dengan
semua ini. Aku lelah belajar rela, belajar untuk tegar, aku lelah.
Semakin aku mencoba merelakan, semakin terasa perih hatiku. Sesak ini
sudah menyatu dengan tubuhku, menggerogoti hatiku. Membunuh diriku
dengan perlahan.
Aku selalu mencoba tersenyum saat kamu melihatku. Aku selalu berusaha
menahan air mataku bila aku melihatmu dengannya. Aku selalu berusaha
bahagia saat melihatmu bisa tertawa dengannya, bukan denganku. Aku
selalu berusaha terlihat tegar, walau sebenarnya aku rapuh.
Aku kuat. Aku bisa tersenyum kembali. Aku bisa menghapus perasaanku
ke kamu. Aku bisa memunguti puing-puing hatiku dan menyatukannya
kembali. Aku bisa melupakanmu, merelakanmu bahagia bersamanya. Aku bisa
tegar. Aku bisa rela. Ya, aku bisa.
Tetapi sampai kapan aku pura-pura rela?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar